Rabu, Maret 16, 2011

日本で死にたくない (Saya Tak Ingin mati di Jepang)

Ini adalah sebuah cerita dari teman maya saya Mikial Maulita saat bencana itu terjadi di Jepang.
Sebelumnya saya mengenal Miki hanya secara kebetulan.
Mungkin tahun lalu ya, saya mendengarnya di sebuah wawancara radio Jepang NHK.
Miki adalah salah satu anak yang kehilangan orang tuanya saat peristiwa Tsunami di Aceh (26 Desember 2004). Kini ia menuntut ilmu di Universitas Waseda, Jepang.

Saya sangat kagum dengan Miki, yang bisa terus survive mengenyam pendidikan di negeri nan jauh di sana. Salud buat kamu Mik :)
Nah, setelah mendengar nya di radio, saya pun langsung menuliskan namanya dalam kotak search di Facebook. Ternyata ada! Ya saya add deh, dan akhirnya jadi teman di Facebook :)
Hanya saja, saat saya diberi kesempatan oleh Allah berkunjung ke negri sakura itu, saya tidak sempat bertemu dengan Miki karena saya hanya 3 hari di Tokyo dan jadwal telah ditentukan oleh pihak kordinator kami. Zannen deshita :(

Tapi gpp, tabun dokoka itsuka aimashou :)

Berikut tulisannya dalam situs "The Atjeh Post" :

---------------------------------------------------------------------------

Gempa dahsyat yang disusul gelombang tsunami di Jepang, menimbulkan kesan mendalam bagi Mikial Maulita yang saat ini sedang menuntut ilmu di sana. Bagi mahasiswi Universitas Wasida itu, ini adalah kali kedua ia merasakan musibah serupa. Sebelumnya, ia menjadi saksi dahsyatnya gelombang tsunami yang menggulung pesisir Aceh.

Inilah nukilan pengalaman Mikial yang ditulis khusus untuk pembaca The Atjeh Post, Senin (14/3), tiga hari setelah setelah bencana itu datang.

***

11 Maret 2011, pukul 14.55 waktu Jepang. Saya masih berada di asrama mahasiswa  di kota Tokyo ketika guncangan itu datang. Asrama tempat saya tinggal berguncang hebat. Saya yang saat itu sedang berada di kamar, langsung panik. Asrama terayun-ayun ke kiri dan ke kanan. Ayunan itu sangat kuat dan berlangsung lama.

Di pikiran saya langsung terlintas gempa dan tsunami dahsyat di Aceh lima tahun silam, tepatnya 26 Desember 2004. Saat itu yang terpikir hanya orang-orang tersayang di tanah air. Pikiran saya mulai melayang kemana-mana. Sempat terlintas, jika saya harus mati, jangan sampai saya mengembuskan nafas terakhir di Jepang. Itu sebabnya, saat saya menulis surat ini, saya bersyukur terlepas dari bencana itu.

Selang beberapa menit, dikabarkan telah terjadi gelombang tsunami di belahan utara Jepang, di Provinsi Miyagi dan Iwate.

Ketika musibah itu terjadi, yang pertama terkena imbas adalah matinya arus listrik, termasuk ke asrama tempat tinggal saya. Kemudian, disusul sinyal telepon genggam yang tidak berfungsi. Keadaan itu persis saat Aceh dilanda tsunami.

Parahnya lagi, matinya listrik di Jepang mengganggu semua aktifitas. Masyarakat negeri Sakura yg sejak pagi sudah berangkat kerja, tak tau bagaimana caranya pulang ke rumah mereka. Kereta api listrik sebagai alat transportasi andalan di Jepang, tak bisa beroperasi listrik padam.

Yang lebih memprihatinkan lagi, mereka yang menjadi korban gempa dan tsunami  harus mempertahankan hidup dan melawan suhu udara yang sangat dingin di luar sana. Kasian sekali!

Sebenarnya bukan hanya itu saja musibah yang sedang menimpa negeri matahari terbit ini. Pada saat bersamaan, terbakar pula sebuah tangki minyak di propinsi Chiba. Kemudian disusul lagi dengan radiator nuklir yang meledak di propinsi Fukushima. Terakhir, di bagian  selatan Jepang, di propinsi Kyusyu, ada gunung merapi yang sedang aktif.

Satu hal yang membedakan Jepang dengan Aceh, mereka tampaknya sudah dipersiapkan untuk menghadapi bencana seperti ini. Itu sebabnya, jika dibanding Aceh, korban jiwa di sini jauh lebih sedikit. Mungkin karena mereka sudah sering dilanda gempa.

Di tengah bencana beruntun yang menimpa negeri ini, saya tidak tau entah bagaimana nasib Jepang ke depan. Sebagai orang luar yang kini tinggal di negara itu, saya hanya berharap yang terbaik. Semoga doa dan dukungan dari masyarakat Aceh --sebagai daerah yang pernah mengalami hal serupa-- tak pernah putus untuk masyarakat Jepang.

Tokyo, 14 Maret 2011.

Mikial Maulita (Mahasiswi Universitas Waseda).


Photobucket

2 komentar:

  1. wah, pengalaman doble yag menyeramkan. semoga kita tidak pernah merasakannya amin

    BalasHapus

Jangan lupa tinggalkan jejak ya
Trimakasih...